LELAKI itu berdiri di dekat jendela. Temaram lampu kamar,
membingkai bayangannya seperti setengah memanjang. Sesaat, aku hanya menangkap
nuansa kesedihan di wajahnya. Wajah yang menyiratkan selaksa kepucatan yang
membentang seperti iring-iringan awan melingkupi langit. Dia lebih banyak diam,
mendengarkan dengan syahdu suara seseorang di seberang. Aku tahu, dia sedang
mengangkat telepon istrinya. Tetapi, aku tak mendengar dengan jelas: suaranya
pelan setengah berbisik, seperti dengung serangga. Sesekali, ia
mengangguk-angguk.
Aku masih meringkuk dibalut selimut.
Tapi tiba-tiba, kulihat segumpal warna serupa sisa badai yang menggumpal di
sudut matanya. Mata yang membuatku bergidik menatapnya lebih lama. Tak sampai
semenit, dia mematikan handphone, kemudian berjalan ke arahku.
”Aku harus pulang,” suaranya datar
tidak terlalu mengejutkanku. Seperti hari-hari yang lain, dia tidak selalu
mengungkapkan satu alasan pun sebelum pergi dari rumahku.
”Apakah istrimu tahu kalau malam ini
kau di rumahku?”
Dia menggeleng. Sorot matanya kelabu
dan ganjil serasa meninggalkan bekas luka pedih bagai timbunan kardus kumal
yang teronggok di tempat sampah. Lama, kami bersitatap pandang. Matanya
mendidih, serupa air yang dijerang di atas tungku. Aku ingin bertanya…, tetapi
genangan hitam di sudut matanya itu membuatku beringsut. Dan, malam itu, dia
benar-benar seperti orang asing yang baru kukenal.
Dia buru-buru berpakaian. Aku hanya
menatapnya dengan diam, bahkan ketika ia pergi dengan tergesa dan meninggalkanku
yang masih meringkuk setengah telanjang dalam balutan selimut.
***
IA tidak
tahu, betapa aku bergidik takut tatkala istriku meneleponku. Meski itu bukan
kali pertama istriku tiba-tiba meneleponku saat aku tidur di rumahnya, tetapi
malam itu aku serasa digulung ombak berlipat-lipat: hanyut dalam gelombang yang
hampir menenggelamkanku. Setelah aku mengangkat telepon, istriku langsung
menangis tersedu. Tangisnya pecah, membuat telingaku serasa basah. Kutunggu
lama, hingga tangisnya reda. Hening sejenak, sebelum kemudian istriku memintaku
pulang. Anakku sakit.
Kabar itu,
sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tapi, aku merasakan tiba-tiba
menggigil. Tangis istriku bagai gerimis yang turun seketika meninggalkan
kepekatan yang membentang di cakrawala serupa kerlip lampu di sepanjang jalan
yang mati tiba-tiba dan membuat seluruh kota tergeragap. Seberkas cahaya
memudar, berganti gelap. Kesunyian meruncing. Dalam perjalanan pulang, hawa
dingin terus menjalar ke seluruh tubuhku. Setibaku di rumah, aku membuka pintu
rumah dengan gugup, seraya mencium aroma parfum yang masih tertinggal di
tubuhku—sekadar menepis kecurigaan istriku sebelum aku menerabas masuk ke
kamar. Tatapan istriku tak menaruh curiga, ketika aku berdiri di ambang pintu
kecuali ia terlihat gugup. ”Sejak satu jam yang lalu, panasnya tak kunjung
turun,” tukas istriku.
”Kenapa kau tak langsung membawanya
ke dokter…” ujarku tak sedikit pun merasa bersalah
Kupegang kepala anakku. Panasnya
cukup tinggi.
Tetapi, istriku tak segera menjawab.
Lama, ia menatapku dengan heran. ”Tapi, anak ini butuh ayahnya. Ia tidak hanya
membutuhkanku di saat sakit seperti ini. Sayangnya, ayahnya seperti tidak
pernah tahu.”
”Jika kau tahu aku sibuk, kau
seharusnya tak perlu menungguku sampai pulang untuk sekadar membawanya ke
dokter,” tukasku, sambil membopong buah hatiku, bocah mungil yang baru
menginjak 1 tahun itu. ”Ayo kita berangkat, sebelum semuanya terlambat dan
tambah parah!”
Dalam
dekapanku, anakku menggeliat. Kemudian, ia membuka mata. Mata itu, entah
kenapa, tidak lagi dingin meneduhkan, melainkan berubah seperti nyala api
unggun mata seorang hakim yang mendakwaku dengan tuduhan berat….
***
MATA
lelaki itu kemerahan, bagai hamparan jalan di malam hari yang diterpa gemerlap
lampu. Dan, sejak kali pertama bertemu laki-laki itu, aku seperti
ditelungkupkan pada seraut kenangan. Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba
seperti direnggut perasaan aneh dan ganjil. Aku seketika jatuh cinta. Apa yang
kusuka dari lelaki itu? Jujur, ia mengingatkanku akan masa laluku—dua tahun lalu—tatkala
aku lulus dari kuliah. Aku masih luntang-lantung, belum mendapatkan pekerjaan
layak, dan kerap tidur di rumah teman.
Hingga
akhirnya, kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang
benar-benar asing bagiku—lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia
hampir memberiku apa yang aku butuhkan kecuali kepastian…. Ia bisa datang satu
minggu sekali, kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Ia
datang ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang membutuhkan
kehadirannya pada satu malam tertentu. Hingga semua itu berakhir ketika
istrinya tahu keberadaanku.
Dan lelaki
ini, tiba-tiba datang dari balik keheningan. Aku tak tahu, bagaimana semua itu
bermula. Ia tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku tangan di
sudut cafe. Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di hadapannya, aku
seperti hilang…. Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya membuatku luruh. Dalam
sekejap, persendianku seperti dialiri getaran aneh yang menjalar ke setiap
pori-pori. Mata lelaki itu seperti hamparan laut, tenang dan meneduhkan. Setiap
kali aku melihatnya, aku serasa ingin menyelam ke dalamnya….
Aku tidak
bisa berkata-kata dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk mengantarku
pulang, aku tak kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh sakit ketika ia
lama tidak mengunjungiku….
***
SETELAH
mengantar perempuan itu, aku pulang ke rumah dengan raut penuh tanda tanya.
Istriku—yang biasanya anggun—menyambut kedatanganku dengan cemberut. Tidak
seperti biasanya. Ia kali ini tidak tersenyum, tak membawakan tasku—apalagi mau
melepaskan dasiku. Sejak ia membuka pintu, ia hanya diam—menatapku dengan mata
yang aneh. Aku sudah hafal. Pasti ada peristiwa yang tak ia sukai dan ia
memprotesku dengan diam.
Aku meninggalkan istriku yang masih
berdiri kaku di balik pintu. Ia menutup pintu, menguncinya dan mengikuti
langkahku.
”Noura sakit…,” akhirnya ia buka
suara.
Aku berbalik, menatapnya dengan raut
tak percaya. ”Sakit apa?”
”Demam… Tadi, badannya panas. Aku
sudah membawanya ke dokter…”
”Gimana sekarang?” tanyaku
penasaran, seraya merangsek ke kamar.
Putriku tertidur, meringkuk dalam
balutan selimut. Entah kenapa, aku selalu menemukan setangkup ketenangan yang
selalu menelusup dalam hatiku, ketika mataku menatap bola mata mungilnya. Tapi,
kali ini putriku terpejam. Aku menempelkan tangan di keningnya. Kening putriku
tidak lagi panas.
”Aku tadi menghubungimu
berkali-kali…. Tapi sia-sia! Handphone-mu tidak aktif,” ucap istriku.
Aku tidak
menanggapinya. Ia semakin cemberut bahkan kesal. Aku menciumnya putriku
pelan-pelan, tak ingin bangun. Tapi, harapanku kandas. Putriku terjaga. Matanya
biru, menatapku. Aku merasa tatapan mata putriku… entah kenapa, tidak lagi
dingin meneduhkan, tetapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku
bergidik takut….
Dan beberapa saat kemudian, ia
menangis.
***
DI mataku,
tak ada yang istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja—seperti umumnya lelaki
lain. Hanya saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi
danau. Setiap aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang tenang.
Bahkan, ketika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa
jatuh sakit.
Aku tidak tahu, kenapa semua bisa
tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih. Meski ia
datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita dan bersenda gurau. Tetapi,
kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah, lelaki ini benar-benar aneh.
”Aku ingin pergi ke sebuah danau…,”
ucapku memecah keheningan.
Lelaki itu
diam, dan seperti tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Dan aku tahu, dia
tak sanggup untuk memenuhi permintaanku. Aku, entah kenapa, merasakan telah
meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak
pernah ada kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang
sudah beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun… Tapi, dia
tiba-tiba membuatku melambung.
”Besok jika kamu sudah sembuh, aku
akan mengantarmu ke pantai…” ucapnya pelan, seraya mencium keningku.
”Sekarang aku sudah sembuh.”
Lelaki itu
terbaring tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai
sepotong daging dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan
cepat. Lelaki itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah
tersengal. Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia berbaring lemas
di balik selimut.
Hingga
kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur
nyenyaknya. Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan
dengan gugup ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian
lempeng kaca jendela saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku
tahu, dia sedang mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar
jelas: suaranya pelan setengah berbisik.
Setelah hening, lelaki itu berkata
pendek, ”Aku harus segera pulang.”
Aku tak
mungkin mencegahnya pergi. Aku tahu, pasti ia pulang lantaran anaknya sakit. Ia
pernah bercerita, setiap kali habis menemuiku, pasti anaknya jatuh sakit…
***
Dalam
perjalanan pulang, aku benar-benar merasa bergidik dan disesap rasa takut. Itu
karena, aku tidak ingin kehilangan anakku. Kalau kulanjutkan hubunganku dengan
perempuan itu, aku tak tahu apa yang terjadi dengan anakku. Lama-lama, anakku
bisa sakit menahun….
Tiba di
rumah, kubuka pintu dengan gugup. Lebih gugup lagi tatkala yang menyambutku
bukan istriku, tapi ibu mertuaku. Aku mencium tangan wanita yang telah
melahirkan istriku itu dengan takzim, ”Kamu boleh sibuk bahkan kerja
mati-matian, tapi jika karena kesibukanmu, justru anak-istrimu sakit, rasanya
kesibukanmu akan membuat hidupmu hampa.”
”Ya, Bu…,” jawabku.
Hening sejenak.
”Tapi, bagaimana dengan Noura?”
tanyaku gugup.
”Noura tak apa-apa, justru sekarang
yang sakit istrimu.”
Aku tercekat. Jadi ia berbohong
ketika tadi meneleponku? Ah, kenapa aku sekarang ini tidak peka? Aku langsung
menerabas masuk kamar dan menemukan istriku terbaring dengan tubuh lemas. Aku
duduk di tepi ranjang. Kulihat istriku menggeliat, menatapku dengan aneh.
”Kenapa tadi kau meneleponku
mengatakan Noura yang sakit?”
Istriku diam.
”Kenapa kau berbohong?”
Lagi-lagi,
istriku diam. Setelah itu, ia menatapku tajam. Dan mata istriku… entah kenapa
tak lagi dingin meneduhkan tapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku
bergidik. Mata istriku, kulihat seperti sepasang mata malaikat yang tak
henti-henti menuduhku; bahwa akulah yang sebenarnya berbohong.






0 komentar:
Posting Komentar